Jadinya berapa?
Kita bisa terpukau pada apa saja. Pada hal yang sudah atau tak pernah kita duga sebelumnya. Itu bisa jadi macam-macam; cengkok maut pengamen tua di lampu merah, kupu kupu yang tiba-tiba terbang masuk di ruang tamu, tabrakan mata dengan mbak Via Vallen di parkiran atau ketika Nabi Yusuf lewat dan tanpa sadar kau mengiris jemari tanganmu sendiri.
Setiap kita punya “greng” sendiri-sendiri. “Karya seni harus greng”. Ungkapan Widayat ini demikian terkenal. Itu lantas menjadi kredo, alih-alih jadi alat ukur untuk menyelami kadar pencapaian karya seorang seniman.
Greng dalam bahasa Jawa punya banyak tafsir. Dalam konteks karya seni, ia bisa berarti daya ganggu, hipnotis, interuptif , nyetrum di hati. Sesuatu yang bikin berdiri bulu kuduk dan panca indera kita. Purwaceng.
“Greng” adalah situasi yang sangat subyektif.Itu sangat tergantung dari sensibilitas, pengalaman estetis dan referensi visual. Juga tentu saja selera. Di sana letak serunya menikmati dan mengapresiasi karya seni.
Pada momentum peringatan 100 tahun seniman Widayat ini, RuangDalam Art House menghelat pameran bersama bertajuk “10 x berapa”. Ada 10 seniman mendapat undangan. Masing-masing memamerkan dua karya di atas kanvas 100 x 100 cm. Dihelat tanggal 10, bulan kesepuluh.
Taburan angka 10 ini sebenarnya tidak bermaksud apa-apa. Anggap saja kebetulan yang indah. Tak apa, biarlah jadi nomor cantik seperti orang mau demo nikahan.
Kesepuluh perupa ini terdiri dari empat perupawati (Laila Tifah, Triana Nurmaria, Dini Nur Aghnia, Diana Puspita Putri) dan enam perupawan ( Rangga Anugrah Putra, Suyadnya Agus Putu, Suardana Kacor, Rizal Hasan, Oky Antonius). Izinkan saya “berbual-bual” dan “mengata-ngatai” karya para seniman kita ini semampunya. Sudah nasib saya ditunjuk sebagai juru tanggap (respons) perdana yang sepertinya ke depan, bakal terus dibudidayakan oleh RuangDalam Art House.
Pada salah satu karyanya, Laila Tifah menyuguhkan lukisan Sakura yang dia respons dari salah satu seri Sakura lukisan Widayat. Sakura ala Laila Tifah punya magisme tersendiri. Warnanya yang hijau kebiru-biruan memberi kesan dingin dan temaram. Suasananya jadi mistis ketika ada liukan garis spiral yang kuat dan menyatu. sangat khas Laila Tifah. Karya lainnya adalah rentetan tulisan horisontal tumpat padat nyaris tak terbaca. Dia beri judul “Falsafah Widayat” (spidol, akrilik di atas kanvas). Lukisan yang didominasi marun menguarkan hawa panas. Entah maujudnya amarah atau gairah.
Diana Puspita Sari dan Triana Nur Maria menyuguhkan karya bernafas ekspresif. Lihatlah figur manusia ala Diana, berupa kesan dengan sapuan yang sedap dipandang, ditimpa obyek floral yang transparan. Aneka warna yang dibubuhkannya berpejal-pejal namun tetap larut menyatu. Triana menyuguhkan figur-figur terkesan yang dilingkupi sapuan-sapuan gahar. Dengan warna minimal yang memberi kesan monokromatik. Karyanya berjudul “Burning Room” juga terasa mendedahkan amarah atau gairah, tapi dia punya artikulasi tersendiri, berbeda dengan Laila Tifah.
Sedangkan Dini Nur Aghnia tampil dengan karya landscape dengan keping-kepingan kolase tepung yang tidak hanya dekoratif, tapi juga menawarkan ilusi mata. Karyanya yang unik ini, seunik alam raya nusantara yang tak bakal habis dia eksplorasi. Salah satu karyanya “Ocean Calling” mengingatkan kita pada sejarahwan maritim Adrian Bernard Lapian yang menerjemahkan Indonesia sebagai negara bahari; negara laut utama yang ditaburi pulau-pulau. Bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut.
Sementara itu, Laksamana Ryo memainkan potongan adegan dalam dunia fantasi . Dalam karya berjudul “ They Saw Me Stabbing” dia menggambarkan seseorang dengan tangan terborgol memegang pistol (bukan pisau), didekap oleh seorang perempuan. Di kejauhan tampak beberapa figur terlihat tercekat. Amat filmis. Tapi juga menawarkan kelindan narasi. Apakah yang terbunuh, seseorangkah atau sesuatu?.
Lalu ada Suardana Kacor dan Rizal Hasan yang memainkan langgam pop art . Kacor dengan ikan, terumbu karang dan anjing dengan warna mencolok. Latarnya bermotif lembut dan memberi kesan batik. Rizal dengan kepiting imajinernya, bertubuh hati merah muda dan bertanduk kaktus. Sedangkan Oky Antonius hadir dengan ciri khasnya, figur-figur yang memiuh, komikal , dekoratif dengan warna-warna purba. Pada Oky, Rizal dan Kacor, saya menangkap semangat dekora yang laten. Mereka berkarya dengan nafas dan hentakan sendiri-sendiri.
Lain cerita lagi dengan daya hias yang ditawarkan Rangga A Putra; warna warni dengan tektur berserakan. Termutilasi namun meruang. Tak seperti karya-karya sebelumnya, Rangga menyisakan sedikit ruang kosong di atas bidang kanvasnya. Ruang yang seolah olah sengaja dia sediakan- entah sebagai teras – sebelum kita masuk tergoda melumat potongan warna yang dia dedahkan. Menikmati karya Rangga kali ini, rasanya setara dengan mendengar desahan berat suara Diana Krall.
Lalu mari kita lihat hasil adukan warna dan garis yang ditorehkan Agus “Angus” Putu Suyadnya dengan sabetan palet, teknik leleh, usap dan sapu-sapuan besar dan kuat. Angus tetap konsisten karya-karyanya yang mengkritisi perusakan alam oleh kaum oligarki. Figur gajah yang kerap dia pakai sebagai representasi kritisnya alam kembali dia munculkan. Kali ini lebih samar. Memunah. Vis a vis dengan fakta nasib gajah di negeri yang sayangnya bernama Indonesia.
“10 kali berapa” boleh dibilang upaya meminjam gairah kreatif seorang Widayat . Gairah yang nyalanya berlipat ganda melebihi angka-angka. Dr Oey Hong Djien suatu saat pernah bercerita, Widayat adalah seorang pengamat dan perespons yang baik. Dia sanggup menggambar obyek apa saja,selain aneka satwa dan alam yang disukainya, dia juga menggambar wajah-wajah orang kebanyakan yang lalu lalu di pasar, di ladang. Ia berkarya dengan medium yang kaya. Dekora magis, begitulah karya Widayat disebut. Melukis, seperti yang sering dia katakan, adalah menghias. Lukisan baginya tak lebih dari sekedar pemanis dinding rumah, kantor atau museum. Nah, kita orang jangan boleh percaya begitu saja.
Perespons
jurnalis, sedang berjuang
E Catalogue bisa dilihat dihttps://bit.ly/10kaliBerapa_TributeToWidayat
©️RuangDalam Art House