KONDISI DI ANTARA DUA TANDA KURUNG
Syofiardi Bachyul Jb
Ernest Hemingway, peraih Nobel Kesusastraan 1954 menggambarkan kondisi manusia dengan mengagumkan dalam novelnya yang sangat terkenal, The Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Laut).
Ia mengisahkan seorang nelayan tua bernama Santiago yang dianggap “paling sial di antara yang sial”, karena sudah 84 hari tidak berhasil menangkap seekor ikan pun.
Selama 40 hari pertama melaut di Arus Teluk Meksiko, Santiago ditemani seorang anak lelaki. Namun karena tak pernah berhasil menangkap ikan, anak itu disuruh kedua orang tuanya untuk pindah ke perahu nelayan lainnya.
Pada hari ke-85, umpan pancing Santiago akhirnya dimakan ikan. Namun ikan itu seekor marlin yang sangat besar, sepanjang 18 kaki atau sekitar 5,5 meter.
Santiago berjuang mati-matian untuk menangkap marlin. Ia tetap bertahan meski dilarikan ikan besar itu ke tengah lautan selama dua hari dua malam.
Akhirnya ia berhasil menaklukkan ikan tersebut dengan tombaknya dan mengikatnya di sisi perahu. Santiago bertolak pulang dengan membayangkan akan bisa menjualnya dengan harga yang mahal.
Tapi persoalan lain muncul. Sepanjang berlayar pulang, ikan tangkapannya menarik perhatian gerombolan hiu. Ia berusaha menghalau hiu-hiu itu dengan berbagai cara. Bahkan berhasil membunuh lima ekor di antaranya.
Namun, tetap saja menjelang sampai di pelabuhan, daging ikan marlin tangkapannya habis, yang tersisa hanyalah bagian kepala, tulang punggung, dan ekor yang tak berharga.
Santiago tidak menyesali hasil pekerjaannya. Ia tetap menikmati perjuangannya di laut. Hanya anak lelaki itu satu-satunya yang bisa memandangnya sebagai nelayan terbaik dan berjanji akan menemaninya melaut.
Sedangkan nelayan-nelayan lain lebih mengagumi bangkai ikan tangkapan Santiago yang besar. Para turis yang melihat cukup puas mengenal ikan tersebut sebagai hiu.
Kisah “Lelaki Tua dan Laut” menggambarkan kondisi yang dihadapi manusia. Begitu manusia menginjakkan kaki di dunia, ia langsung berhadapan dengan kondisi. Ia akan berhadapan dengan sesuatu yang seringkali tidak sesuai dengan harapannya.
Hannah Arendt dalam bukunya “The Human Condition” (1959) menyebutkan tiga aktivitas dasar manusia dalam menghadapi kondisi yang mereka hadapi, yaitu kerja (labour), karya (work), dan tindakan (action). Ia menyebutnya sebagai “Vita Activa” (Kehidupan yang Aktif).
Pandangan Arent antitesis dari para filsuf kuno yang sebelumnya berpendapat bahwa tiga aktivitas dasar manusia dalam menghadapi kondisi adalah berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging). Mereka menyebutnya “Vita Contemplativa” (Kehidupan Kontemplatif).
Arendt lebih mengedepankan aksi, bukan pikiran. Baginya aksilah yang membuat manusia semakin maju mengelola dunia ini. Kondisilah yang menyebabkan manusia merespon dengan berbagai tindakan, sehingga melahirkan dunia seperti sekarang.
Dunia seperti sekarang itu termasuk kebudayaan. C.A. van Peursen menyebutkan, ketika manusia muncul di bawah kolong langit, maka tak lama kemudian kelihatanlah gejala-gejala kebudayaan. Sebab kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia.
Manusia, tentu saja, tidak tunggal, melainkan plural. Karena itu respon manusia terhadap kondisi yang dihadapi mereka akan berbeda, dipengaruhi banyak hal yang mereka alami. Bahkan juga menjangkau ruang yang tidak kasatmata.
Seperti penyair Amerika, T.S. Eliot menukilkan dalam sajaknya “Omong Kosong”:
Antara gagasan/ Dan kenyataan/ Antara gerak/ Dan tindakan/ Jatuhlah bayang-bayang// Sebab milik-Mu-lah kerajaan itu// Antara rancangan/ Dan ciptaan/ Antara perasaan/ Dan tanggapan/ Jatuhlah Bayang-bayang//Hidup sangat panjang//.
“Hidup sangat panjang” adalah optimisme yang membuat Santiago bergulat dengan marlen. Lelaki tua itu memiliki cara sendiri menghadapi hidupnya. Nelayan-nelayan dan wisatawan merespon dengan sudut pandang dengan cara berbeda.
Sedangkan si anak laki-laki menjatuhkan pilihan yang tidak mengikuti arus. Ia jatuh ke dalam pilihan yang lebih “berisi”, meski tidak lazim bagi manusia kebanyakan.
Manusia memang akan selalu merespon kondisi dengan cara mereka. Pilihan itu akan mengarahkan kepada kondisi berikutnya. Kondisi berikutnya juga akan melahirkan respon selanjutnya dan seterusnya.
Hal seperti itu akan selalu terjadi dalam hidup yang terbatas. Octavio Paz dalam “Kepastian” menukilkan: Dari satu kata ke lainnya/ Yang kututurkan lenyap/ Kutahu aku hidup/ Antara dua tanda kurung//.
Antara dua tanda kurung, di sanalah seorang manusia berada menghadapi kondisinya. Mengisi dan mengukir jejaknya. Mendobrak keterbatasannya atau terbenam dalam tanda kurung yang sempit.
Padang, 30 Juli 2020
Pameran ini diikuti oleh 8 perupa yang bermukim di Yogyakarta yaitu Azhar Horo , Hayatuddin, Enggar R, Justian Jafin Wibisono, Agung Santosa, Ronal Effendi, Jonathan Joseph Muhsin Bra, dan Oktaviyani
E Catalogue bisa dilihat di https://bit.ly/PameranSeniRupaKONdISI
©️RuangDalam Art House