TO THE SOUL
Pada perjumpaan pertama beberapa bulan yang lalu, kelompok Jari mengutarakan keinginan untuk bekerjasama melakukan pameran seni rupa di RuangDalam Arthouse. Beberapa perihal yang kemudian mereka sampaikan. Pertama; ini merupakan pameran pertama kelompok Jari. Kedua; tema pameran “From the hand to the soul”. Dan berikutnya, yang menurut kami yang menjadi poin penting adalah “penjelajahan-material karya seni” yang coba ditawarkan oleh masing – masing personel dalam kelompok ini. Kami, RuangDalam Arthouse tertarik, dan bersepakat untuk bekerjasama mengemas kegiatan ini menjadi sebuah perhelatan pameran yang seyogyanya menjadi “panggung-presentasi” gagasan, pemikiran dan juga pertanggung jawaban.
Dipertemuan tersebut, mereka juga menceritakan bahwa ide untuk kelompok berawal dari project bersama di GAIA Cosmo Hotel Yogyakarta (2016 – 2017). Project yang dikoordinasi oleh Bram Satya, Benda Art Management. Selepas dari kebersamaan di GAIA Cosmo Hotel tersebut, mereka ingin mendeklarasikan kelompok mereka dengan pameran seni rupa, berlabuh di RuangDalam Arthouse. Hal ini tentu menjadi catatan “sejarah” tersendiri dalam proses perjalanan berkesenian mereka (kelompok Jari, dan juga atas nama masing – masing personal mereka), dan juga bagi RuangDalam Arthouse.
Selaras dengan hal di atas, butuh tekad dan rasa kebersamaan bagi Ivan Bestari Minar Pradipta (Glass Art-Flaming Glass), Apri Susanto (Ceramic), Derry Pratama (Wall Sculpture-Wood Cutting), Dedy Sofhianto (Kinetic Art-Wood), dan Ludira Yudha (Sculpture-Iron Ware) untuk memutuskan berkelompok dalam perjalanan ber-kesenian mereka. Saya lalu teringat pada pandangan George Homans, ahli sosiologi asal Amerika yang mengutarakan bahwa pembentukan kelompok berdasarkan kesamaan aktivitas, memerlukan interaksi dan sentiment (perasaan atau emosi) yang saling berhubungan secara langsung. Oleh karena itu, upaya untuk memelihara spirit kebersamaan dan menjaga konsistensi kedepannya, dapat dilakukan dengan; bagaimana terus melakukan aktivitas ber-pameran secara kelompok (konsistensi), berinteraksi lebih dalam (bertemu, berdiskusi dan lainnya), dan bagaimana saling menjaga perasaan dan emosi. Selanjutnya, pameran kelompok seni rupa dengan tajuk To the Soul ini ibarat meletakkan “titik-awal” perjalanan mereka secara kelompok seni, bagian dari perjalanan kesenian mereka secara personal. Peristiwa yang bisa dimaknai lebih lanjut/dalam di-masa yang akan datang.
Gambaran Maksud; From the Hand to the Soul
Berikutnya, terkait tema pameran “From the Hand to the Soul” yang menjadi salah satu topik perbincangan kami kala itu. Sebab bahasa-ibu saya adalah bahasa Minang dan bahasa Indonesia, susunan kata dalam bahasa inggris tersebut hanya dapat saya tafsirkan secara subyektif, berupa; “dari sebuah keterampilan/kekuatan/kebiasaan/keterlatihan “tangan” yang menuju-mencari-menggali-menemukan-menciptakan karya seni yang memiliki “jiwa/ruh”. Bersandar pada pandangan tersebut, saya kemudian menangkap beberapa “gambaran-maksud” yang sedang/ingin diurai oleh Kelompok Jari dipameran ini, yaitu; Sebagai Sebuah Pernyataan, bahwa; meskipun berkelompok, masing – masing mereka berani untuk memilih-material yang “berbeda” sebagai “bahasa-visual” yang khas. Sekaligus secara eksplisit, juga menegaskan (atau,- berusaha untuk) atau mempertontonkan kemampuan teknik yang telah mereka capai (berkaitan langsung dengan cara/perlakuan/pengolahan material yang digunakan).
Selanjutnya, Sebagai Sebuah Pertanyaan. Awalnya saya sempat berfikiran “gambaran-maksud” pada poin ini, adalah pertanyaan yang “menggugat” terhadap perilaku – perilaku produksi “barang-seni” tapi sengaja diakui/mengakui-nya sebagai “karya-seni”, demi mendapatkan pengakuan-publik ataupun melanggengkan “kepentingan” tertentu (saat pertemuan pertama diskusi kami sedikit melebar memperbincangkan sebuah fenomena/seseorang yang tidak etis untuk dibicarakan lebih jauh). Prasangka tersebut sengaja saya abaikan, sebab hanya berdasarkan persepsi berhias asumsi, dan berjarak dari subyek/fenomena yang sesungguhnya. Kemudian akan menjadi pembahasan/perdebatan yang berkepanjangan dan penuh pembenaran, sehingga “spirit-solutif” dari sebuah pembahasan/diskusi/perdebatan akan hilang secara seksama. Maka dari itu, gambaran-maksud sebagai sebuah pertanyaan sejatinya diperuntukkan bagi diri mereka sendiri (Kelompok Jari). Pertanyaan yang dapat menjadi “pagar-diri”. Yaitu; tentang bagaimana menjaga spirit, tekad atau kemauan, dan kesungguhan (nilai; jujur) untuk menciptakan karya seni rupa (yang memiliki “ruh”)?. Setidaknya, bisa dilihat sebagai sebuah cermin dari “proses-berkelanjutan” penciptaan karya seni oleh seniman. Selalu belajar, mempelajari dan menikmati apa yang sedang dipelajarinya, dan sekaligus ber-siap untuk mempelajari hal berikutnya dengan kesungguhan.
Terakhir, Sebagai Sebuah Peristiwa, bahwa; pameran ini adalah sebuah “petanda” bahwa masing – masing seniman SEJENAK telah “menemukan-sesuatu” yang kemudian dianggap sebagai karya seni rupa (fine art), ukurannya tentu terletak pada subyektifitas seniman. Saya percaya “sesuatu” tersebut telah melewati fase pencarian, penggalian, eksplorasi, bahkan eksperimen – eksperimen di “ruang-personal” penciptaan karya seni masing – masing seniman. Sehingga kemudian karya seni – karya seni tersebut pantas untuk dihantarkan ke “ruang-publik”, menjadi “aktor-utama” dalam peristiwa pameran yang bertajuk To the Soul ini.
Di-sisi pemikiran yang lain, gambaran-maksud ini realitasnya tidak se-kaku kalimat ungkapan di atas. Sebab, saat berkunjung dan berdiskusi ke studio masing – masing seniman saya menemukan suasana yang hangat, berbincang santai dan tak jarang canda tawa menjadi “koor” bersama kami. Dibalik kehangatan itu, sebenarnya banyak menyeruak pertanyaan – pertanyaan, perdebatan dan pernyataan kritis dari seniman. Ada dua hal yang saya dapatkan ketika melakukan pertemuan – pertemuan tersebut (dengan teknik waktu yang random). Pertama; Sadar ataupun tidak disadari, sebenarnya mereka mengetahui; untuk mewujudkan ide dan gagasan (mereka miliki) menjadi karya seni rupa akan diiringi oleh konsekuensi – konsekuensi logis. Oleh karena itu bekerja lebih keras menjadi salah satu solusi atas hal tersebut. Hal ini tampak dari kondisi studio masing – masing mereka saat itu, terlihat beberapa karya seni – karya seni yang sudah finish, dan beberapa yang masih dalam proses pengerjaan (kecuali Deri Pratama, disebabkan dia baru pindah rumah/studio). Bagi saya ini adalah fakta yang tidak disampaikan secara verbal. Kedua; Jarang sekali terlontar “keluhan”, kalaupun ada berkutat pada persoalan bagaimana memahami karakteristik material, mencari sajian-visual yang terbaik, dan terkait aplikasi teknik dalam penciptaan karya seni. Menurut hemat saya, kesadaran ini (yang bisa saja tidak disadari) yang membuat mereka tetap “bermain – main dengan serius”, “naskah-besar” dari peristiwa pameran di RuangDalam Arthouse di Agustus nanti.
Kelompok Jari; Dari Keterampilan Tangan Menuju…….
Terlepas dari uraian di atas, ada perihal mengganjal yang saya rasakan sewaktu pertemuan pertama kami, di RuangDalam Arthouse beberapa bulan yang lalu. Waktu itu keluar ungkapan dari salah satu personel kelompok Jari, kalau sebagian besar dari mereka dari fakultas seni kriya dan bukan berasal dari seni murni saat belajar di Universitas/Pendidikan Tinggi Seni. Saya memotong percakapan tersebut, dan dengan tegas saya katakan saat itu, bahwa mereka seharusnya keluar dari pandangan fallace tersebut. Walau tidak dipungkiri saat saya berada dalam lingkungan-sosial Universitas Seni (hampir dua dekade lalu), Fakultas lain selain Seni Murni dianggap menjadi kasta kedua, dan kurang bergengsi. Tapi kemudian, saat berada pada ranah “konstelasi-sosial seni” yang lebih luas, hal tersebut saya anggap hanyalah salah satu fenomena-asumtif dari perilaku pada fase remaja/dewasa awal yang sedang mencari eksistensi diri. Oleh karena itu, saat ini sebaiknya “membuka mata” melihat dan memperhatikan dinamika perkembangan seni rupa yang sedang terjadi. Pusparagam fakta-perkembangan karya seni rupa dan prakteknya telah “melintasi-batas” disiplin keilmuan. Sosok seniman Handiwirman Saputra bisa menjadi contoh. Beliau menempuh pendidikan di Fakultas Seni Kriya di Institute Seni Indonesia, Yogyakarta (bahkan tidak menyelesaikan pendidikannya). Berkaca pada perjalan Handiwirman, pastinya tidak semudah saat kita membicarakannya, tapi karya seni ciptaan-nya “diakui”, dan dapat berbicara di-kancah Dunia. Bahkan saya pribadi berani menyatakan karya seni-nya menjadi salah satu barometer dari perkembangan seni rupa Indonesia. selanjutnya, saat ini seni rupa (dan item – itemnya) tidak terkungkung oleh satu standar tertentu, semua orang punya kesempatan untuk menjadi seniman, berkesempatan membuat karya seni. Tapi tidak semua orang “bisa dan diterima” sebagai seorang seniman, dan dapat “menciptakan” karya seni rupa. Prosesnya bersifat sangat individual-deference, sehingga membutuhkan tekad yang kuat, keyakinan, konsistensi dan kerja keras.
Beberapa saat setelah itu, salah satu personil kelompok Jari juga menyatakan istilah “Craft Contemporer” (yang disampaikan oleh salah seorang sahabat kepada mereka). Menurut saya istilah tersebut pasti memiliki tujuan/fungsi tertentu dalam domain produk craft, dan bukan untuk membuat abu – abu karya seni rupa. Karya seni rupa tetap menjadi karya seni rupa meski diciptakan oleh seniman yang berlatar belakang pendidikan seni kriya, ekonomi, matematika, hukum, bidang lainnya, dan bahkan otodidak sekalipun. Sungguh naif, dan fatal apabila istilah tersebut kemudian bertujuan untuk menaikkan “gengsi” seniman, khususnya yang berbasis pendidikan seni kriya, padahal individu tersebut telah memilih untuk berkarya seni rupa. Bersandar pada diskusi tersebut saya lalu menanyakan ulang kepada masing – masing mereka terkait niat, maksud/tujuan dan posisioning karya mereka (sebab saya meyakini hal ini adalah hak sekaligus kewajiban seniman sepenuhnya). Karena hal ini menjadi poin penting bagi kami, khususnya pada soalan bagaimana mempertanggung jawabkan sebuah kegiatan pameran di RuangDalam Arthouse.
Kemudian hal ini jangan dipersepsikan secara dangkal, bahwasanya RuangDalam Arthouse,- khususnya saya pribadi-, menisbikan karya seni kriya. Karya seni rupa dan karya seni kriya menurut argumentasi saya berada pada dimensi yang berbeda, sehingga salah satunya tidak bisa di-perbandingkan “atas-bawah”. Dua hal ini spesial diletakkan dalam dimensinya masing – masing. Secara sederhana kita dapat melihat perbedaan tersebut pada proses dasar penciptaan, analisis fungsi/kegunaan, dan pewajantahannya. Namun etis-nya dua hal tersebut tidak dicampur-adukkan secara serampangan. Apabila di-kombinasikan, atau di-kolaburasikan tentu kita perlu membuat sebuah metode, sehingga kemudian bisa dikomunikasikan secara argumentatif, dan juga dapat dipertanggung jawabkan. Mereka lalu memberikan jawaban (bersifat pernyataan) bahwasanya mereka; mencipta karya seni rupa, dan berkeinginan, perhelatan kegiatan ini adalah pameran seni rupa.
Sesungguhnya saya tidak ingin masuk pada sebuah wacana yang meng-kategorikan seni kriya dan seni rupa sebagai “level-kebenaran”. Maka sebab itu, dasar pemikirannya saya letakkan pada; bagian dari sebagai sebuah proses tahap penciptaan karya seni (ide/gagasan/konsep,- pemilihan material,- keterampilan tangan/tenik). Dan fakta bahwa; dalam Kelompok Jari, empat orang anggotanya berbasis pendidikan seni kriya (Apri Susanto, Dedy Sofhianto, Deri Pratama, dan Ludira Yudha), sedangkan satu lainnya berbasis pendidikan desain produk (Ivan Bestari Minar Pradipta). Dan masing – masing mereka memiliki “keterampilan tangan” (penguasaan teknik) yang baik dalam mengolah material menjadi karya seni rupa.
“Gerbang Jiwa”, menelisik; Gagasan, Pemilihan Material Karya Seni dan Aplikasi Teknik.
Berbicara tentang “jiwa”, adalah sesuatu hal yang tidak dapat didefinisikan dalam satu pendefinifian yang konkrit, karena dia bersifat Abstrak atau sesuatu hal yang bersifat non fisik. Contohnya manusia, ada fisik yang dapat kita lihat, dan ada “ruhani/jiwa” yang tidak dapat kita lihat, tapi kita yakini itu ada. Sebelum menarik konklusi tentang jiwa terkait karya seni, ada baiknya istilah “jiwa” ini kita hantarkan pada dimensi “jiwa” yang ada pada manusia. Psikologi adalah cabang keilmuan yang mengkaji tentang “jiwa”. Dalam kacamatanya (psikologi) hakikat jiwa, memiliki “kekaburan” arti dan makna. Oleh karenanya muncul berbagai pendapat sesuai dengan sudut pandang dan penafsiran masing-masing tokoh.
Lalu psikologi membatasi dirinya pada; bagaimana mempelajari gejala-gejala kejiwaan, khususnya kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan dengan memperhatikan perilaku manusia. Sebab diyakini bahwa perilaku merupakan ungkapan dan cerminan dari kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan tersebut. Hal ini kemudian menjadi sebuah “garis” yang disepakati (konvensi bersama), bahwasanya; pengertian jiwa dalam perspektif psikologi merupakan cerminan dari perilaku yang dimunculkan oleh individu dalam bentuk tindakan dan perbuatan nyata yang dapat teramati (perilaku terbuka) maupun tindakan yang tidak dapat diamati secara langsung (perilaku tertutup) dalam hubungannya dengan realitas.
Hal demikianlah yang menurut penulis “mirip” dengan “jiwa karya seni”. Kita memiliki kekaburan defenisi untuk menjelaskannya secara defenitif, namun kita dapat merasakannya. Lalu, cara yang sederhana untuk mendekatinya tentu dengan mengamati gejala-gejala melalui gagasan, material karya seni dan aplikasi teknik yang “tergambarkan” sebagai proses dari penciptaan karya seni.
Pada 7 Juni 2018, selepas senja saya dapat kesempatan berkunjung ke studionya Ivan Bestari Minar Pradipta (dipanggil Ivan). Salah satu personel kelompok Jari. Obrolan kami terasa begitu menarik, dia menceritakan bagaimana selama ini dia mengolah botol bekas sebagai medium dalam karyanya, dengan flaming-teknik (recycled glass flameworking). Dia juga membuat Otakatik Creative Workshop (tahun 2012 – sekarang) sebagai ruang untuk berbagi tentang glass art kepada publik, sekaligus ruang atau tempat bagi dia untuk bereksperimen dengan material “lokal dan limbah kaca”. Pada perjumpaan tersebut, dia memberi saya beberapa pengetahuan tentang bagaimana “memperlakukan kaca”, salah satunya perbedaan karakter dan sifat kaca, antara; kaca bening, kaca yang berwarna hijau, dan yang berwarna merah. Bagaimana mengatur suhu pembakaran dan teknik mendinginkan setelah pembakaran. Kehati – hatian dia berikan pada kaca yang berwarna merah, sebab kaca ini seringkali menimbulkan plek berwarna hitam apabila proses pembakaran dan pendinginannya tidak sempurna, tercampur debu dan lainnya. Ukuran “sempurna” ini yang menarik perhatian saya kala itu, sehingga muncul pertanyaan tentang;
Two head, Recycled glass, Flameworking Techniqe, 66 x 16 x 22 cm, 2014
Berapa suhu yang diperlukan untuk membakar kaca? Dengan lugas Ivan menjawab, saya tidak mengetahui persis berapa ukuran suhu untuk membakarnya, karena saya mengerjakannya secara manual, namun ketika sedang proses membakar kaca saya bisa “merasakan” bahwa panas ini cukup untuk masing – masing jenis kaca yang sedang dibentuk.
Seberapa sering kamu gagal dalam proses membakar dan mendinginkannya? Wah sering sekali jawabnya, salah satu ciri dari ketidak sempurnaan dari proses tersebut adalah adanya gelembung udara di dalam kaca, dan untung saya menggunakan beling (pecahan kaca) atau “barang bekas” yang jarang dimanfaatkan oleh orang – orang, sehingga stock material saya melimpah, kami tergelak saat itu.
Khusus untuk pameran ini ivan membuat sebuah karya dengan tema “daun – daun berserakkan”. Gagasan ini sepertinya; menyibak perhatian untuk melihat kembali realitas kehidupan dengan isu lingkungan dan pemanasan global. Serakkan daun – daun tersebut bisa jadi isyarat (bersifat luas) agar kita memperhatikan hubungan antara manusia dengan alamnya. Bagaimana menempatkan kebutuhan manusia dan kebijakkan alam menjadi satu kesatuan realitas, atau keseimbangan yang utopis sekalipun.
Lain Ivan, lain pula Apri Susanto, Deri Pratama, Ludira Yudha dan Dedi Sofhianto. Apri misalnya, lelaki ramah yang enak diajak berdiskusi ini fokus pada pengolahan keramik. Baginya keramik adalah sebuah pilihan untuk mengungkap ide dan gagasannya. Dia dengan beberapa temannya menginisiasi kelompok Bakar-Keramik yang kesana kemari menggotong “kompor” keramik, untuk “memasyarakatkan keramik”. Pada tahun 2016 pernah mengadakan kegiatan di RuangDalam Arthouse. Sedangkan Deri Pratama memilih Wood-Cutting sebagai teknik untuk media kayu yang dia pilih. Ludira memilih mengolah medium kawat besi, sedangkan Dedi memilih teknik Kinetik untuk karya seni ciptaannya. (detil konsep seniman sengaja kami lampirkan pada halaman – halaman sebelum image karya seni dalam katalog, dan caption pameran)
Memecah Kesunyian, Earthenware/Tanah Liat Bayat Bergelasir, Variable Medium (9 Item), 2014
Saya kemudian berfikir tentang; awalnya mereka bermain – main dalam konstelasi ruang ide, lalu menentukan material dan teknik yang akan diterapkan. Dari serangkaian proses itu, lalu akhirnya “menemukan” sesuatu. Sesuatu yang dapat kita saksikan bersama – sama diperhelatan pameran Kelompok Jari ini. Memang kalau pergelaran pameran ini dimaksudkan untuk
Begitulah Kelompok Jari. Saya melihat Jari sebagai sekelompok orang muda yang sedang mencari/meniti “sesuatu”, dan ibarat jari tangan/kaki manusia dengan jumlahnya yang lima terasa pas. Masing – masing memiliki nama, karakter dan fungsi tersendiri, apabila terkoordinasi dengan baik dan saling menguatkan dia dapat membuat kepalan untuk mendobrak sesuatu. Tentu dengan karya seni, ataupun aktivitas seni!. Di-penghujung pagi pada sesi terakhir penulisan ini, kala memikirkan fungsi Ibu Jari sebagai “kunci”, tiba – tiba terlintas wajah Apri Susanto dengan senyum “bakpaonya” yang khas, dan seketika muncul keinginan untuk bergurau, “Apri Susanto rasanya pantas disebut sebagai Ibu Jari, ha..ha..ha..ha.. maaf fisik ya mas Apri”.
Bayu W
Unknown Organic Object No.4, Galvanized Iron Wire, Variable Size, 2018 (Ludira Yudha) Jadilah Dirimu, Bagian Dari Dunia Yang Terus Bergerak Dan Berputar, Wood And Mechanical Fabricasi (Sensor), 165cm x 170cm x 90cm, 2018 (Dedi Shofianto) 01, Wood dan Acrilic Colour, Variable Size, 2018 ( Deri Pratama )