Secara umum Mata Angin adalah salah satu panduan yang digunakan untuk menentukan “arah” di suatu tempat. Arah mata angin biasanya tampak pada peta dan alat navigasi lainnya. Dan salah satu alat yang sangat sering digunakan untuk menentukan arah tersebut ialah kompas.
Pada perhelatan pameran seni rupa di Ruangdalam Art House kali ini, tajuk “Mata Angin” sengaja dikemukakan sebagai sebuah cara pandang, dan atau “perspektif”. Perspektif yang bersifat luas, dalam memaknai kehadiran satu sosok/tokoh seni rupa; dr Oei Hong Djien dalam aspek sosial – medan seni rupa Indonesia. Sedangkan pespekstif yang bersifat khusus difungsikan untuk melihat karya seni empat orang seniman. Yaitu; Bunga Yuridespita, Desy Gitary, Laksmi Sitoresmi dan Theresia Agustina Sitompul. “Mata Angin” adalah; sebuah perumpamaan tentang tentang “timur, barat, utara dan selatan” terkait empat (4) karakter karya seni dari empat (4) seniman yang sengaja kami padukan dalam gelaran pameran seni rupa ini.
Oleh karena hal di atas, Mata Angin sebagai tajuk utama pada pameran seni ini sesungguhnya adalah bahasa simbol; Atau sebuah perumpamaan akan sesuatu, dan atau sebuah peng-kiasan. Hal tersebut diharapkan menjadi “pintu” untuk membuka “muatan-nilai” yang terdapat didalamnya.
Nilai Keberadaan; Oleh Karena Rasa Cinta dan Ketekunan
Pertanyaannya kenapa Mata Angin memadukan pembahasan, antara; dr. Oei Hong Djien dengan 4 orang seniman ini?.
“Mata Angin” secara sederhana sengaja “membungkus-anggapan” berhubungan dengan spirit (semangat) yang tampak dari kehadiran sosok dr. Oei Hong Djien dengan 4 orang seniman tersebut. Dengan seksama, kiprahnya dr. Oei sesungguhnya tidak terbantahkan, dia dapat dikatakan sebagai salah satu arah “Mata Angin” kolektor Indonesia yang konsisten mengapresiasi dan mengkoleksi karya – karya seni rupa seniman Indonesia. Tentu “laku” yang beliau pilih berdasarkan kecintaan dan ketekunan. Sedangkan 4 orang seniman ini sengaja kami pilih juga berdasarkan hal tersebut; kecintaan terhadap pilihannya untuk menjadi seorang seniman yang lambat laun membangun mentalitas diri untuk terus konsisten menciptakan karya seni. “Laku” yang mereka jalankan adalah wujud konsistensi sebagai seorang seniman yang mem-proyeksikan pemikiran – pemikiran dan nilai – nilai melalui karya seni rupa (subyektif-sesuai dengan masing – masing seniman). Inilah yang akhirnya kami percayai; bahwasanya ke-empat seniman ini telah menentukan “arahnya”.
Yang membedakan Antara dr. Oei dengan ke-empat seniman ini tentu adalah; dr. Oei Hong Djien dengan usia yang memasuki 80 tahun ini telah membuktikan “kiprahnya”. Oleh karena “rasa cinta dan ketekunan” tersebut-lah beliau kemudian mewujudkan Museum OHD. Sedangkan ke-empat seniman ini masih membutuhkan waktu untuk pembuktian lebih lanjut. Tapi saya meyakini bahwasanya; mereka memiliki rasa cinta tersebut dan “potensi-lebih” untuk menjaga ketekunannya,-hingga waktunya kelak.
Kemudian jangan harap di pameran ini audiens akan menemukan bentuk – bentuk visual berupa wajah atau figurnya dr. Oei Hong Djien. Sebab, sesuai dengan pandangan sebelumnya; kami ingin menghadirkan dan memaknai “spirit-keberadaannya” dr. Hong Djien Oei . Tidak ingin terjebak pada pengkultusan sosok fisiknya belaka. Karena “jebakan” tersebut sejatinya hanya akan menimbulkan perilaku – perilaku yang tidak positif dan ke-fanatikan, seperti; perilaku “menjilat” ataupun memuji – memuji secara berlebihan, sehingga hubungan yang dibangun dengan dirinya tidak dalam lingkaran “rasa-hormat”, tapi berlandaskan kepentingan lainnya. Oleh karena itu, perlu rasanya untuk menghadirkan kesadaran untuk memaknai “nilai-keberadaan” dr. Oei Hong Djien yang tidak akan lengkang oleh waktu, yaitu; sosok yang memiliki kecintaan lebih terhadap karya seni, dan ditambah lagi, keterbukaan dirinya untuk mengapresiasi dan mengkomunikasikan karya – karya seniman – seniman Indonesia dipergaulan seni global. Hal inilah yang sejatinya melampaui dari hal – hal yang bersifat fisik semata.
Sang Utara, Sang Timur, Sang Barat dan Sang Selatan
Entahlah? pelabelan Sang Utara, Sang Timur, Sang Barat dan Sang Selatan untuk ke-empat seniman ini mengalir begitu saja dalam fikiran penulis. Sederhananya hanya menempatkan posisi karakter mereka pada arah masing – masing. Sekaligus melihat perbedaan diantara mereka.
Kita mulai dari Sang Utara; seniman yang paling muda diantara seniman yang berpameran; Bunga Yuridespita. Bunga memiliki basis pendidikan arsitektur di Universitas Pelita Harapan dan Master Degree Fine Art di Institute Teknologi Bandung. Tampak jelas dalam kekaryaannya; Ilmu, dan atau, cara pandang arsitektur dia kombinasikan dengan seni rupa.
Bagi bunga fenomena ruang, waktu, realitas pertemuan (dialog) dan memori manusia menjadi atensi utama dalam gagasan karya seni-nya. Ruang dia sampaikan sebagai fakta hidup manusia modern; dimana kita tidak bisa lepas dari hal tersebut (pola ruang). Realitas pertemuan yang menciptakan dialog dia lihat sebagai citraan memori manusia yang terjadi dalam “fenomena-ruang kehidupan”. Sedangkan waktu, dia maknai; sebagai rangkaian peristiwa yang terjadi di masa lalu, saat ini atau mendatang. Menurut bunga apabila ruang dan waktu ditambahkan (yang didalamnya ada proses recall memori) akan memahami identitas-diri (dalam Fortofolio Bunga Yuridespita).
Bagi saya, yang menarik dari ide dan gagasan tersebut ialah; dia tarik “ke-pangkal”. Visualitas yang memproyeksikan gagasannya di atas, dia kembalikan pada bidang dan warna dengan permainan komposisi – komposisi yang khas (ala Bunga). Sehingga saya menjadi tergelitik untuk bertanya, jangan – jangan ini menjadi “refleksi” spontan dia untuk mencari makna atas lanskap-realitas yang selama ini dia jalani?
Sang Timur; Desy Gitary merupakan seorang seniman “otodidak”, dia mulai menciptakan karya seni di-dasari oleh keteguhan hatinya. Uniknya; inilah yang kemudian membuat karya – karya Desy secara visual “berbeda”. Sebab teknik komposisi, teknik pewarnaan hingga bentuk – bentuk dia buat “se-senang hatinya”. Ide dan gagasannya pun mengalir begitu saja sesuai realitas kehidupan yang dia jalani; “catatan-rasa”.
Masih seperti pameran tunggalnya yang bertajuk beyond di Syang Art Space akhir tahun lalu, Desy masih mengeksplorasi kekuatan garisnya. Dia tidak memiliki ukuran – ukuran yang pasti dalam mengkonstruksi garisnya, dia hanya menikmati perpaduan antar garis tersebut; khususnya bagaimana dia memadu-padankan garis nyata dan garis maya/semu. Begitupun dengan arah garis yang dia bangun, jangan kita berharap akan menemukan satu alur yang seragam atau sama. Arah garis – garis itu dia acak, dia tumpuk, terkadang dia hapus, dan bahkan tak jarang dia kembali membuat garis – garis baru di atas jejak hapusan tersebut. Meskipun demikian, pada 3 karya ini dia mulai menemukan ke-asyikan pada “ruang kosong atau bidang”, tapi terlihat “tipis” sekali. “Raut garis”-nya Desy masih mendominasi.
Sang Barat; Theresia Agustina Sitompul biasa dipanggil Tere adalah seniman yang tidak dibatasi oleh “media atau material” dalam mewujudkan karya seni. Dia membebaskan dirinya untuk menciptakan berbagai karya seni dengan berbagai material yang menurut dia pas–sesuai dengan ide dan gagasan yang dia miliki. Teknik pengolahan material selalu dia jadikan tantangan, sehingga Tere dikenal sebagai seniman yang memiliki kecakapan teknik berbagai material. Konsekuensi dari proses penciptaan karya seni yang eksplorasi material ini adalah “kegagalan-eksekusi” tapi disitu-lah Tere menemukan “ruang-dirinya”. Menjadi bagian dari setiap proses penciptaan karya seni.
Pada pameran “Mata Angin” Tere menampilkan karya dengan material kain kassa, kemudian di atas kain kasa tersebut dia lukiskan image – image rumpun rumput. Pengolahan kain kasa ini tentu membutuhkan pemahaman karakter material dan keterampilan ketika mengolahnya; Tere memulai mengolah kain kasa bersama bahan tertentu, sehingga kain kasa yang awalnya lentur berubah menjadi keras dan bisa digunakan untuk dilukis. Lalu teknik manual print dia pilih untuk menampilkan image rumpun rumput sesuai dengan seleranya (termasuk pemilihan warna). Kemudian karya dengan material kain kasa dan image rumput ini menjadi proyeksi visual dari ide dasarnya “siapa menamam dia yang akan memetik hasilnya”.
Sang Selatan; Mungkin karena pernah menempuh pendidikan sastra di Universitas Gadjah Mada tahun 1992 lalu, nuansa karya seni ciptaan Laksmi Shitaresmi terasa begitu puitik. (Laksmi menyelesaikan studinya di Institute Seni Indonesia pada tahun 1998).
Meskipun saya sengaja menghilangkan sebutan/kata perempuan dari awal tulisan ini; untuk melihat Laksmi rasanya tidak mungkin saya menghilangkan hal itu. Sebab bahasa-karyanya sangat personifikasi; karya – karyanya lahir dari emosi-rasa seorang perempuan-jawa, ibu dan sekaligus istri. Karya – karyanya adalah potret simbolik dari dirinya, bahkan dalam representasi binatang sekalipun (dalam beberapa karya seni lainnya yang berbentuk binatang).
Disisi lainnya, karya seni Laksmi terlihat ber-selera “surealis figurative”. Apabila kita perhatikan lebih dalam terdapat jejak – jejak atau elaborasi unsur tradisi yang menjadi refleksi dari sistem nilai dirinya yang berdasarkan pada budaya jawa yang kental.
Penutup
Demikianlah sekelumit uraian tentang “Mata Angin”, bagaimana perumpamaan Sang Utara, Sang Timur, Sang Barat dan Sang Selatan untuk ke-empat seniman ini adalah kiasan untuk karakter masing – masing Seniman. Sedangkan terkait dr. Oei Hong Djien kami berkeyakinan dia adalah salah satu “Mata Angin” kolektor Indonesia yang konsisten mengapresiasi dan mengkoleksi karya – karya seni rupa seniman Indonesia. Selamat Ulang Tahun pak Dokter, selalu sehat dan selalu berbincang tentang seni rupa Indonesia. Selamat berpameran kawan – kawan seniman, semoga keindahan karakter dan jalan yang telah dipilih menjadi arah yang mewarnai panggung seni rupa kita.
Salam Glokalisasi.
Bayu W
E-catalogue bisa dilihat di https://drive.google.com/file/d/1cNSwm2ii3cOjAMlIIbebaAmhNvxUthtd/view?usp=sharing
©️RuangDalam Art House